Oleh Syanne Susita
Pada sebuah Sabtu saya mengunjungi daerah Ginza, daerah perbelanjaan kelas atas di Tokyo (kalau di LA, seperti Rodeo Drive Beverly Hills). Dari tempat saya menginap di Asakusa, saya tinggal naik jalur oranye (Metro Ginza line) dan langsung turun di stasiun Ginza.
Setiap akhir pekan pada April hingga September, jalan yang membelah Ginza ditutup dan dikhususkan bagi pejalan kaki. Terdapat beberapa tenda dan bangku untuk beristirahat. Nah, di sinilah kesempatan saya melihat gaya hidup keseharian penduduk setempat.
Yang paling menarik disimak tentu gaya pakaian. Amat berbeda dari para anak muda di Harajuku. Warga di sini kebanyakan sudah mapan sehingga pilihan warna dan potongan baju mereka terlihat lebih mahal dan berkelas.
Di pinggir jalan banyak beberapa pengamen jalanan atau seniman jalanan lainnya seperti pesulap atau pantomim dan pedagang kaki lima yang menjual mainan anak-anak. Lumayan menjadi hiburan mata. Beberapa pengendara sepeda juga berseliweran.
Jika mengunjungi Ginza, bersiap-siaplah kagum dengan tampilan di setiap jendela toko-toko mewah. Desain kerap berubah mengikuti musim dan produk baru. Beberapa toko sukses membuat saya berhenti sejenak untuk menikmati desain jendela toko mereka. Mikimoto, desainer perhiasan dari mutiara sekaligus pencipta mutiara warna warni yang sering mensponsori ajang Mrs. Universe ini sengaja membuat taman kecil di depan dan boks jendela kecil yang membuat orang penasaran untuk mengintip.
Selain itu, Apple dengan desain toko serba metalik seolah menggambarkan kotak dari masa depan juga sulit untuk ditolak magnetnya. Terletak di persimpangan Chuo Dori dan Matsuyama Dori, toko dengan tujuh lantai ini adalah surga bagi penggemar produk Apple — dengan bioskop khusus yang memutar video tutorial produk-produk Apple.
Selain butik, pusat perbelanjaan mewah seperti Matsuya, Hankyu, dan Printemps (pusat perbelanjaan lisensi dari Perancis) berjejeran juga di sepanjang Chuo Dori. Saya memilih hanya memasuki Matsuya untuk menikmati suasananya. Selebihnya cukup ditelusuri dari depan, menikmati berbagai pajangan di jendela depan.
Di salah satu persimpangan jalan dengan Chuo Dori ini, ada satu jalan dengan jejeran pohon buah ceri (bahasa Jepangnya, Sakura) yang kebetulan sedang berbunga. Saya lebih menikmati merekahnya bunga Sakura dengan alasan sederhana, karena di negara sendiri tidak bisa mengalami hal seperti ini.
Setelah lelah menyusuri Chuo Dori, saya sempat mengalami dilema. Menghabiskan malam dengan menonton film atau mengisi perut sambil ngaso sebentar di salah satu restoran?
Soalnya, rekomendasi dari teman, salah satu yang harus dicoba di Ginza ini adalah menonton di salah satu bioskop di situ. Namun, saya kemudian membatalkan niat menonton setelah melihat semua film yang diputar film berbahasa Jepang tanpa teks bahasa Inggris.
Saya pun menghabiskan malam di Ginza dengan menyantap udon termahal yang pernah saya makan, yaitu unadon (udon belut) seharga Rp 275 ribu di salah satu restoran.