BIOENERGICENTER.COM, PEKANBARU — Pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, cuaca ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air adalah dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.
“Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrem di berbagai wilayah Tanah Air,” kata Ariful di Pekanbaru, Jumat (6/1).
Intinya, menurut Ariful, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola yang beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya. “Hal ini bisa jadi karena alam di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah,” ujarnya.
Iklim mikro tersebut, kata dia, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah membentuk suatu tatanan lingkungan yang ‘amburadul’ atau serba tidak menentu. “Nah, hal ini juga diakibatkan ekosistem yang ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi,” tuturnya.
Bisa jadi pula, kondisi ini disebabkan berbagai hal, yang pertama hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai lagi, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis. Kemudian, kondisi iklim yang terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan lingkungan dan penghuninya.
“Sebagai akibatnya, tatanan terhadap hidrologi itu sudah tidak lagi memiliki sistem pusaran yang baik,” katanya. Ariful mencontohkan Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan kebun sawit yang ‘membabi buta’, kesumuanya ‘merampok’ daerah tangkapan air seperti aliran sungai dan anak sungai yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Konsekuensi logisnya, ucap dia, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis. “Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan,” tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan air, baik itu skala kecil maupun skala besar. “Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi perubahan iklim yang sangat drastis,” demikian Ariful.
Sumber
Anda ingin Sehat, Lancar rezeki, Meningkatkan Karier, Dimudahkan dalam segala usaha, Lancar Jodoh, Meningkatkan percaya diri & Lebih Dekat dengan Tuhan? Klik DISINI