Tanggal 14 Februari bagi sebagian orang adalah peringatan Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day. tak sedikit pula mereka yang secara emosional tidak merasa dekat dengan Hari Kasih Sayang ini atau tidak pernah merayakan. Alasannya sederhana saja, tidak merasa cocok dengan budaya ini.
Tetapi menonton berita di televisi, beberapa demonstrasi penolakan Valentine’s Day oleh beberapa kelompok di beberapa kota, membuat aku ingin meluruskan pemaknaan Hari Kasih Sayang ini. Demonstrasi ini mulai dari anak-anak SD sampai mahasiswa. Terakhir adalah yang terjadi kemarin di Tasikmalaya.
Hal yang membikin resah aku adalah dasar penolakan yang salah kaprah. Entah ini keliru di tingkat kelompok-kelompok itu atau narasi penyiar TV yang salah tangkap. Dalam setiap berita, dasar penolakan Valentine’s Day ini karena Hari Kasih Sayang ini meracuni generasi muda Indonesia dengan mengajak untuk berbuat maksiat. Wadooh….
Di sini ada pergeseran makna negatif yang kebablasan soal bagaimana merayakan Hari Kasih Sayang. Bagi yang berdemo menolak, hal ini tidak ada masalah. Adalah hak mereka untuk menolak perayaan ini. Sah-sah saja, karena ini bagian dari demokrasi budaya popular, boleh mengikuti boleh tidak. Tetapi menggeser makna dengan menuduh Valentine’s Day sekedar ajang berbuat maksiat, justru menjadi kampanye yang bisa jadi salah tangkap bagi generasi muda. Bagi ababil (ABG labil) , bisa jadi pemaknaan yang salah tentang Valentine, membuat mereka lalu berpikir bahwa memang begitulah tradisi (dengan melakukan seks bebas seperti yang disuarakan mereka yang menolak) dalam merayakan Valentine.
Padahal kalau kita sedikit mau googling di internet, makna Valentine’s Day tidak demikian. Ini tradisi dari Barat, untuk mengungkapkan / mengekspresikan kasih sayang pada orang-orang yang kita cintai – tentu ini bukan monopoli pada pasangan, tetapi juga ke kakak adik, ayah ibu, dstnya. Dan pada prakteknya di Indonesia, jauh lebih banyak yang melakukan dengan positif, seperti mengucapkan selamat, memberi kado kepada saudara atau orang tua. Memang yang sering diangkat di berita adalah kejadian negatifnya saja, misalnya banyak pasangan belum nikah di losmen/hotel dsbnya. Tetapi kejadian yang umum (dan jauh lebih banyak dari pada yang menyimpang) adalah orang memberi ucapan selamat atau kado ke keluarga, pacar, teman.
Seandainya kelompok-kelompok yang menolak Valentine’s Day tersebut lebih cerdas dalam dasar pertimbangannya, mungkin akan lebih positif dampaknya. Misalnya menolak Valentine Day, karena ini budaya dari Barat, menolak karena ini komersialisasi ungkapan kasih sayang, atau alasan-alasan lain yang lebih tepat. Justru dengan menolak Valentine’s Day dengan pemahaman yang salah, malah menjadi promosi gratis yang maksiat-maksiat itu.
Lain Tempat, Beda Waktu, Makna Berbeda
Dalam banyak tulisan, Valentine’s Day ini memang dalam sejarahnya berasal dari peringatan Santo Valentinus (santo = orang yang dianggap suci) dalam agama Katolik. Namun santo ini tidak menempati posisi penting dalam tradisi agama Katolik (bahkan orang suci/santo ini tidak ada di dalam tradisi agama Kristen Protestan).
Tetapi apakah sekarang, masih berbau keagamaan? Sudah tidak sama sekali. Kisah santo Valentinus pada perjalanan waktu, lalu dipinjam oleh budaya masyarakat Amerika , bergeser makna menjadi hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang. Pergeseran makna ini (dari peringatan orang suci agama menjadi budaya masyarakat) dapat dimengerti, mengingat situasi masyarakat Barat yang modern, industrialisasi, waktu banyak habis untuk bekerja. Maka perlu ada hari khusus untuk mengingatkan bahwa kita masih punya orang-orang tercinta.
Pada perjalanan waktu, maknanya pun mulai bergeser. Valentine menjadi hari komersialiasi, di mana masyarakat Barat pun mesti membelanjakan sesuatu untuk memperingati Hari Kasih Sayang ini. Makna inilah yang diimpor ke Indonesia pada akhir dekade 80-an, ketika Valentine Day mulai populer di sini. Sehingga banyak anak muda mudah menyerap tradisi ini, karena memang Valentine’s Day sudah tidak ada lagi tradisi agama tertentu atau budaya masyarakat tertentu (bandingkan dengan Father’s Day yang sangat lokal Amerika dan tidak populer di Indonesia). Murni komersialisasi yang mudah diserap oleh siapa saja.
Hal di atas menunjukkan bahwa sebuah tradisi bisa bergeser makna menyesuaikan perjalanan waktu maupun tempat. Lain dulu, lain sekarang. Beda di sana, beda di sini. Namun sebaiknya makna Valentine dikembalikan lagi ke makna yang lebih manusiawi dan universal yaitu Hari Kasih Sayang antar manusia, lepas dari komersialisasi dan jangan dibelokkan atau disalahpahami sebagai hari bebas berbuat maksiat. Kalau kemudian, ada yang merasa tidak cocok dan ada yang cocok, silakan selera masing-masing.
Anda ingin Sehat, Lancar rezeki, Meningkatkan Karier, Dimudahkan dalam segala usaha, Lancar Jodoh, Meningkatkan percaya diri & Lebih Dekat dengan Tuhan? Klik DISINI