Perayaan Imlek yang identik dengan atraksi barongsai kembang api, berbagi angpao, dan sebagainya memiliki makna dan nilai spiritual khusus bagi masyarakat tionghoa di Indonesia.
Apalagi setiap tahunnya memiliki nama -nama yang berbeda dan memiliki makna spiritual berbeda juga simbol berbeda. Bagi masyarakat tionghoa yang merayakannya setiap perayaan imlek menjadi awal perubahan pada tahun itu .
Sebagai moment penting yang memiliki nilai spirual khusus imlek seringkali di hubungkan dengan pesan atau tanda untuk memaknai keberuntungan, cinta, hubungan, rezeki, peluang, hambatan dan ini semua berkaitan dengan shio masing-masing orang.
Makna Imlek Bagi Masyarakat Tionghoa di Indonesia
Imlek pada dasarnya adalah perayaan awal musim semi. Ia terkait erat dengan siklus pertanian. Tetapi pertanian tidak terlepas dari kehidupan perkotaan, tempat banyak orang hidup bersama dalam jarak dekat. Sehingga banyak produk pertanian dikonsumsi dan: dirayakan!
Jane Jacobs dalam bukunya, Economies of City, menulis bahwa pertanian maju justru karena ekonomi perkotaan. Ekonomi perkotaan bukan saja membangkitkan kebutuhan akan produk pertanian. Tetapi juga menciptakan inovasi-inovasi yang meningkatkan produktivitas dan keragaman.
Maka sebenarnya perayaan Imlek bukan hanya terdiri dari kembang api dan angpau. Ia boleh dikatakan merayakan apa yang sekarang disebut metabolisme sirkuler. Desa mengirim makanan ke desa, sebaliknya kota mengirimkan pupuk, bibit hasil silang, kebutuhan pertanian lainnya, serta pembaharuan-pembaharuan.
Makanan menjadi salah satu hal terpenting pada perayaan Imlek.
Salah satu agenda pokok keluarga-keluarga yang merayakan Imlek di Indonesia adalah makan bersama keluarga dengan menu tertentu, misalnya hidangan tanpa daging. Di keluarga lain bisa berlaku menu lain, misalnya daging tertentu atau ikan.
Di Pulau Bangka, daging ayam menjadi makanan istimewa, mungkin karena makanan sehari-hari adalah makanan hasil laut seperti ikan, udang dan kepiting, selain babi tentunya. Kue keranjang yang sangat manis dan cukup tahan lama itu sangat mungkin merupakan hasil olahan orang kota, karena merupakan campuran berbagai bahan yang diperdagangkan di kota. Proses pengolahannya sendiri mungkin memerlukan alat-alat yang diciptakan di kota.
Nah, daripada mendapatkan angpau, sebenarnya lebih menarik apabila berkesempatan menyantap makanan-makanan khas itu di keluarga-keluarga yang masih menghidangkannya. Keluarga-keluarga tertentu sangat mungkin mengembangkan resep atau cara penyajian yang unik, berbeda satu dari yang lainnya. Ini baru pengalaman interkultural yang asyik.
Sekarang semua sudah berbeda
Orang Tionghoa dilarang berdagang di luar kawasan perkotaan oleh Peraturan Presiden No 10 Tahun 1959. Maka perayaan Imlek sejak itu rupanya menjadi lebih terpusat di kota-kota yang cukup besar. Hingga terbitnya Inpres 14 Tahun 1967 yang melarang pelarangan Imlek bersama seluruh tradisi Cina lainnya. Namun sekarang Imlek sudah menjadi hari libur nasional yang artinya bahwa kaum Tionghoa telah memiliki kesempatan yang sama dan mendapat pengakuan sama sebai warga negara.
Sekali lagi, dalam hal ini pun terdapat pengecualian di daerah-daerah berpenduduk keturunan Tionghoa dengan jumlah signifikan. Di Pulau Bangka misalnya, tetap banyak keturunan Tionghoa yang tinggal di desa hingga sekarang.
Dalam masa Orde Baru sebenarnya “perayaan” diam-diam tetap berlangsung, terutama di kota-kota yang memiliki penduduk keturunan Tionghoa yang signifikan. Setiap tahun di Pangkalpinang dulu anak-anak kecil-Tionghoa atau pun bukan–selalu antri untuk mendapatkan angpau pada hari Imlek di rumah keluarga yang lebih tua, yang terkenal sebagai dermawan kampung.
Kadang-kadang secara tidak menyolok juga ada pertunjukan barongsai oleh beberapa perkumpulan kungfu yang masih tersisa dan diam-diam tetap latihan secara teratur.
Kini Imlek bebas dirayakan. Makan malam keluarga pun keluar ke ruang publik, ke restoran-restoran, secara lebih bebas dan meningkat. Intensitas konsumsi yang industrial di kota-kota mungkin akan memediasi pengalaman interkultural yang berbeda.